oleh
Solikhin*)
(Artikel ini saya sampaikan secara ringan tetapi tetap menggigit)
Pengantar
Hari ini saya berdiskusi dengan teman-teman pascasarjana di kampus Unnes bendan Ngisor. Ada pak Salim (MTs.TBS Kudus), pak Setyo (SMA 13 Semarang), dan saya (SMP 1 Doro-Pekalongan), serta teman-teman yang lain sebagai pendengar. Inti diskusi kita adalah menyoroti penetapan peserta sertifikasi Guru. Berikut pendapat tiga orang tadi tentang kondisi riil penetapan peserta sertifikasi guru di daerah masing-masing.
Pak Salim: “kalau di Kudus, penetapan peserta sertifikasi langsung diumumkan di Dindik,terus disitu sudah ditentukan Guru “A” melalui jalur PF (portofolio) atau PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru) dan dimana harus ikut PLPG. tidak diikuti verifikasi data dan macam-macam”.
Pak Setyo:”kalau di Semarang, penetapan peserta sertifikasi didahului dengan adanya surat dari Dindik kepada sekolah-sekolah untuk mengirimkan data guru yang berhak mengikuti sertifikasi dengan dilampiri seluruh SK pengangkatan guru dari awal mengajar hingga SK terakhir. Data tersebut sudah masuk ke Dindik dan diolah oleh Dindik”.
Pak Solikhin: “kalau di Pekalongan, lain lagi, Dindik sudah mengirim data peserta ke sekolah-sekolah, kemudian tiap-tiap guru yang masuk dalam nominasi disuruh untuk verifikasi data dengan membawa SK CPNS/PNS (bagi PNS). sedang SK sebelum CPNS tidak dipertimbangkan. yang tidak memenuhi masa kerja 6 tahun dicoret/dibatalkan”.
Apa kesimpulan akhir yang kami peroleh? Dengan berkelakar kami simpulkan bahwa yang benar dalam penetapan peserta sertifikasi guru adalah pendapat pak Setyo (Semarang), karena yang paling dekat dengan LPMP. Semakin jauh daerah dari LPMP, maka penafsiran semakin jauh pula.
Analisis kasus
Mencermati pengantar di atas, ada beberapa point yang layak dianalisis:
(1) Standar minimal tiap-tiap daerah dalam penetapan peserta sertifikasi berbeda-beda. Hal ini dikarenakan kemampuan tiap-tiap pejabat daerah untuk menafsirkan buku pedoman penetapan sertifikasi guru 2011 berbeda-beda, sesuai dengan kualitas pejabat yang bersangkutan. Hal ini juga seperti kasus penentuan “tenaga honorer” tahun 2005 yang lalu. Akhirnya yang bermain adalah “kepentingan-kepentingan”.